Wednesday, March 23, 2011

Ujian Nasional (UN) dan Kontroversinya

Bulan Maret sampai Mei biasanya menjadi bulan yang penuh dengan gejolak, terutama bagi siswa tingkat dasar hingga menengah yang sudah menginjak kelas tingkat akhir. Bagaimana tidak, Ujian Nasional (UN) yang dilaksanakan secara serentak sudah membayangi pikiran mereka. Tidak jarang demonstrasi menentang UN sering terjadi di berbagai daerah.

Sebenarnya, penulis beranggapan bahwa tujuan pemerintah melaksanakan UN adalah baik adanya. Tujuan utamanya jelas yakni memperbaiki dan meningkatkan kualitas pendidikan di bangsa ini. Asumsinya, nilai UN yang tinggi berkorelasi positif dengan kualitas siswa yang juga tinggi. Namun kenyataannya, praktek kecurangan sering terjadi, baik sebelum pelaksanaan UN maupun saat pelaksanaan UN.

Pada kenyataannya, persiapan sekolah dan siswa cenderung tidak maksimal mengingat pelaksanaan UN yang waktunya sering dipercepat dengan standar minimal kelulusan yang tiap tahun selalu meningkat. Alokasi dana APBN untuk sektor pendidikan sebesar Rp. 221 Triliun dirasa belum tepat sasaran dan transaparan. Hal tersebut didukung oleh editorial Harian Media Indonesia (Selasa, 27/4/2010) yang mengatakan adanya temuan baru Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang mengindikasikan masih ada kejanggalan pengelolaan anggaran Kementerian Pendidikan.

Sementara itu, Ujian nasional 2010 memperlihatkan angka kelulusan semakin turun. Secara nasional angka kelulusan Ujian Nasional tingkat SMA dan sederajat 2010 mencapai 89,88%. Itu berarti turun jika dibandingkan dengan 94,85% angka kelulusan ujian nasional 2009.

Fakta lainnya, Yogyakarta, yang dikenal sebagai barometer pendidikan di Indonesia, menjadi daerah yang angka kegagalan Ujian Nasionalnya paling tinggi sementara dalam kondisi tersebut Yogyakarta tercatat sebagai pelaksana Ujian Nasional paling jujur. Data yang diungkapkan oleh Harian Kompas dan Media Indonesia per April 2010 ini memberikan kesimpulan bahwa keberhasilan pelaksanaan Ujian Nasional masih diragukan secara normatif.

Di pihak lain, anggaran Ujian Nasional semakin meningkat. Pada tahun 2009, biaya Ujian Nasional untuk semua tingkatan mencapai Rp483 Miliar dan tahun 2010 melonjak menjadi Rp592 miliar. Ada kekhawatiran sikap pemerintah mempertahankan Ujian Nasional cenderung terkait dengan anggaran sehingga Ujian Nasional dicurigai menjadi proyek segelintir orang.

Argumentasi yang mengatakan bahwa pelaksanaan Ujian Nasional merupakan standardisasi anak-anak Indonesia merupakan argumen yang diragukan sebab begitu banyak perbedaan yang diukur jika menggunakan standar yang sama. Hal ini menjadi tidak realistis baik bagi pihak sekolah maupun siswa. Di satu sisi, anggaran pendidikan sudah dialokasikan besar-besaran dan dana Ujian Nasional terus meningkat, tetapi mutu pendidikan cenderung tidak meningkat.

Penetapan Ujian Nasional sebagai standar kelulusan siswa merupakan pemahaman yang salah sebab proses pendidikan tidak memerlukan target tertentu. Pola Ujian Nasional yang hanya melibatkan beberapa mata pelajaran inti sepatutnya diubah dengan melibatkan seluruh mata pelajaran yang tentunya bukan dijadikan standar kelulusan, melainkan alat ukur evaluasi semata yang pengambilan keputusannya disesuaikan dengan kebijakan sekolah masing-masing.

Selain itu, pelaksanaan UN dari tahun ke tahun yang sering mengalami perubahan, baik standard dan teknis pelaksanaan, membuktikan bahwa sistem UN yang dirancang sedemikian rupa masih sangat rentan terhadap gejolak. Artinya, sistem UN tersebut juga belum memiliki landasan yang kokoh untuk dijadikan sebagai salah satu alat ukur yang kuat dalam menilai kualitas pendidikan negara kita yang pelaksanaannya sebagian besar ditentukan oleh pelaku pendidikan di sekolah.

Kontroversi pelaksanaan UN seyogianya membawa pemerintah dan para pelaku pendidikan untuk kembali meninjau efektivitas pelaksanaan UN. Perubahan mutlak dilakukan karena pada dasarnya tidak ada sistem yang sempurna yang diciptakan oleh manusia. Perubahan yang dilakukan hendaknya bersifat cenderung menetap dalam kurun waktu tertentu sampai menunggu tiba saatnya perubahan yang baru dilakukan kembali.

Pelaksanaan UN yang bertujuan sebagai evaluasi pendidikan sesungguhnya telah sesuai dengan amanat Undang-Undang Pendidikan. Namun praktik kecurangan yang terjadi selama pelaksanaan UN telah menodai amanat agung dari pendidikan yakni membawa siswa untuk maju, berkembang, dan menjadi manusia dewasa secara mental dan intelektual. Hal tersebut harus segera disiasati sehingga tujan dari pendidikan tersebut dapat tercapai.

disampaikan pada 10 besar Lomba Karya Tulis Djarum Bakti Pendidikan (Beswan Djarum angkatan 2009/2010)

Tuesday, March 22, 2011

Antara Penghargaan dan Realita Kinerja SKPD Kota Bandung

Pada edisi Senin 3 Januari 2011, saya membaca berita yang dimuat pada harian umum terkemuka di Kota Bandung, yakni Pikiran Rakyat Online. Di kolom Bandung Raya, dimuat berita dengan judul “Sembilan SKPD Pemkot Bandung Raih ISO 9001:2008”.

Berita tersebut tentu saja menjadi suatu kebanggaan tersendiri bagi Pemkot Bandung. Betapa tidak, setelah pada tahun anggaran 2009 laporan keuangan Pemkot Bandung mendapat opini Disclaimer atau menolak memberikan pendapat dari BPK, penghargaan ini tentunya membuktikan bahwa kinerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) kota Bandung telah memberikan pelayanan kualitas yang sudah memadai dibanding masa sebelumnya.

Masih terngiang di benak kita ketika Bapak Edi Siswandi mengatakan bahwa diraihnya opini Disclaimer untuk kota Bandung pada tahun anggaran 2009 bukan dikarenakan adanya penyimpangan penggunaan anggaran, tetapi disebabkan oleh adanya proses pencatatan asset yang kurang baik dan penatausahaan SKPD.

Menarik bagi saya untuk menarik benang merah antara diraihnya penghargaan ISO 9001:2008 dengan diraihnya pula opini Disclaimer Pemkot Bandung di tahun anggaran 2009. Mengapa menarik? Apabila memang pendapat dari Bapak Edi Siswandi benar adanya yang mengatakan bahwa terjadi pencatatan asset yang kurang baik dan penatausahaan SKPD, maka tentunya diraihnya penghargaan ISO merupakan suatu kemajuan yang signifikan sebab dengan diraihnya penghargaan tersebut, seyogianya selain terciptanya pelayanan publik yang semakin baik, hal tersebut juga diimbangi dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) dari masing-masing unit SKPD tersebut.

Lalu, apa yang menjadi permasalahan selanjutnya? Tentunya yang menjadi persoalan adalah apakah benar dengan diraihnya penghargaan ISO tersebut maka kinerja SKPD sudah dapat dibanggakan dan diandalkan. Hal ini menjadi semakin menarik mengingat keluhan masyarakat terhadap pelayanan unit kerja satuan daerah di Kota Bandung tidak pernah surut, bahkan sering semakin bertambah melalui keluhan di surat pembaca di media cetak. Itu pun hanya yang dimuat di media, belum lagi suara rakyat yang menjerit di dalam hatinya masing-masing.

Perlu diketahui pula bahwa baru ada sembilan SKPD yang mendapatkan penghargaan ISO 9001:2008. Kesembilan SKPD itu adalah, Badan Kesatuan Bangsa, Perlindungan dan Pemberdayaan Masyarakat, Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Kota Bandung, Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), Dinas Sosial, Dinas Pengelolaan keuangan dan Aset Daerah, Dinas Pemuda dan Olahraga, Rumah Sakit Khusus Ibu dan Anak, Kecamatan Sukasari, dan Puskesmas Margahayu Raya.

Misi Kota Bandung sebagai kota jasa yang bermartabat tentunya menjadi harapan yang indah bagi masyarakat kota Bandung pada khususnya dan bagi pendatang dari luar kota Bandung yang rindu melihat adanya model kota yang dapat dikatakan bersih dan nyaman bagi masyarakat. Pelayanan yang berkualitas sudah barang tentu menjadi hal yang wajib diselenggarakan oleh pemerintah kota Bandung.

Namun kita juga harus dapat menyadari bahwa penyelenggaraan pelayanan yang baik dan sempurna membutuhkan waktu yang lama dan cenderung membutuhkan anggaran yang besar pula. Inilah celah yang rawan dengan korupsi dimana anggaran yang dimiliki berpotensi mampir ke pos yang sebenarnya tidak terlalu penting bahkan terkadang direkayasa demi kepentingan sebagian golongan.

Bagaimana sebaiknya masyarakat kita menyikapi setiap penghargaan dan kekurangan yang ada dalam tubuh pemerintahan Pemkot Bandung? Tentunya kita memliki perspektif yang berbeda. Sebagai mahasiswa yang menuntut ilmu di kota Bandung, saya beranggapan bahwa yang diperlukan oleh masyarakat adalah pembuktian yang nyata dari Pemkot sendiri. Menurut saya, masyarakat pada umumnya tidak begitu peduli dengan penghargaan yang diterima oleh SKPD yang tentunya itu bukan berarti masyarakat tidak bangga dengan penghargaan tersebut. Tetapi yang diinginkan masyarakat adalah kemudahan akses informasi yang berhubungan dengan pemerintahan, jalan publik yang baik, pelayanan kesehatan yang mudah dicapai, serta kemudahan lainnya yang intinya bermuara pada pelayanan yang berkualitas.

Saya sering melihat dan merasakan bagaimana ironisnya kota Bandung yang terkenal dengan kebersihan dan keindahannya justru dipenuhi sampah dan beberapa ruas jalan yang rusak. Tentunya, ada yang salah dalam kinerja unit SKPD ketika permasalahan yang terjadi tidak diselesaikan dengan tepat waktu, bahkan cenderung sangat lama diresponi. Biasanya, kelambanan dalam meresponi ini diakibatkan oleh sistem birokrasi yang rumit serta belum tersedianya anggaran yang memadai. Hal tersebut lumrah diucapkan oleh para pejabat yang bersangkutan jika terjadi masalah yang dikeluhkan oleh masyarakat tersebut.

Terkait dengan diraihnya penghargaan ISO 9001:2008 bagi sembilan unit SKPD, ada harapan tertentu yang muncul di benak kita masing-masing. Harapan itu tentunya adalah berbagai kemudahan dan peningkatan kualitas pelayanan yang akan masyarakat dapatkan. Kinerja yang baik tentunya akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan yang ada sekarang. Selain itu, pemerintah melalui walikota Bapak Dada Rosada juga telah menargetkan di tahun 2013 akan ada 83 SKPD yang menerima penghargaan ISO. Artinya, masih banyak unit SKPD yang perlu ditingkatkan kualitas pelayanannya.

Peningkatan kinerja SKPD merupakan hal yang harus terus dilakukan oleh pemerintah mengingat tanggung jawab pelaksanaan SKPD ada pada pemerintah itu sendiri. Namun, bukan berarti kita sebagai masyarakat tidak dapat berkontribusi langsung dalam peningkatan kinerja SKPD di Kota Bandung. Sebagai masyarakat, peran kita sangat strategis dalam menciptakan suasana good governance dan transparansi pemerintahan daerah kota Bandung.

Dalam Seminar Akuntansi Sektor Publik yang diadakan oleh Himpunan Mahasiswa Pendidikan Akuntansi (Himadiksi) Universitas Pendidikan Indonesia pada hari Rabu 10 November 2010, salah satu pembicara di seminar itu yakni Bapak Dr. Nugraha,M.Si,S.E.,Ak mengemukakan setidaknya terdapat tiga hal yang dapat masyarakat lakukan dalam pengendalian anggaran di kota Bandung. Ketiga hal tersebut adalah membangun kepeduliaan terhadap anggaran, meningkatkan pemahaman akan anggaran, dan membangun komunikasi antara publik dengan pemerintah.

Ketiga hal tersebut dapat kita lakukan demi terciptanya pemerintahan yang bersih serta terciptanya peningkatan kualitas kinerja tiap unit SKPD. Sudah cukup apabila kita melihat SKPD hanya cenderung mengejar target retribusi atau target-target yang sebenarnya lebih kepada pencapaian jangka pendek tapi tidak mampu menjawab keinginan masyarakat yang mendambakan pelayanan yang berkualitas.

Baik adanya apabila unit SKPD telah mampu mendapatkan penghargaan ISO atau penghargaan apapun. Namun, penghargaan tersebut hanya akan menjadi sekedar plakat atau simbol semata apabila pada kenyataannya masih sering terlihat adanya masyarakat kurang mampu yang sulit mendapat akses kesehatan, terbengkalainya pembangunan sarana publik yang penting, sampai pada kebobrokan mental para pejabat yang masih terlibat dalam kasus penyimpangan penggunaan anggaran. Semoga dengan diraihnya ISO 9001:2008 kinerja tiap unit SKPD dapat semakin meningkat dan semakin bersemangat dalam memberikan pelayanan terbaik bagi warga kota Bandung dan para pendatangnya.

Referensi :

http://www.pikiran-rakyat.com/node/131340

http://bataviase.co.id/node/342806

Monday, March 21, 2011

Measurement of Economic Activity

Gross Domestic Product: The Yardstick of an Economy’s Performance (Produk Domestik Bruto: Ukuran Performa Ekonomi)

What is the Gross Domestic Product? It is the name we give to the total dollar value of the goods and services produced by a nation during a given year. GDP is used for many purposes, but the most important one is that it measures the overall performance of an economy. The gross domestic product (or GDP) is the most comprehensive measure of a nation’s total output of goods and services. It is the sum of the dollar value of consumption (C), investment (I), government purchases of goods and services (G), and net exports (X-M).

Apakah Produk Domestik Bruto itu? Itu adalah nama yang kita berikan untuk nilai dollar total dari barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu negara dalam tahun tertentu. GDP digunakan untuk berbagai tujuan, namun salah satu tujuan terpentingnya adalah untuk mengukur keseluruhan performa ekonomi. GDP merupakan pengukuran yang paling luas dari total output barang dan jasa suatu negara. Ini merupakan jumlah nilai dollar dari konsumsi (C), investasi (I), pembelanjaan pemerintah terhadap barang dan jasa (G), dan ekspor bersih (X-M).



Real vs Nominal GDP: “Deflating” GDP by a Price Index. (GDP Rill vs Nominal: “Menurunkan” GDP dengan Indeks Harga)

Nominal GDP represent the total money value of goods and services produced in a given year, where the values are in terms of the market prices of each year. Real GDP corrects nominal GDP by valuing output in terms of the prices of a base year, creating a constant-dollar measure of output.

GDP nominal merupakan nilai uang keseluruhan dari barang dan jasa yang diproduksi dalam satu tahun, dimana nilai-nilainya dinyatakan dalam harga pasar setiap tahun. GDP riil memperbaiki GDP nominal dengan menilai output dalam harga suatu tahun dasar, menciptakan sebuah ukuran dollar konstan suatu output.



Two Measures of National Product: Goods-Flow and Earnings-Flow. (Dua Ukuran Produk Nasional: Alur Barang dan Alur Penghasilan.)

GDP, or Gross Domestic Product, can be measured in two different ways : (1) as the flow of final products. The GDP is defined as the total money value of the flow of final product produced by the nation; (2) as the total costs or earnings of inputs producing output. The GDP is defined as the total of factor earnings (wages, interest, rents, and profit) that are the costs of producing society’s final products. Because profit is defined as a residual cost, both approaches will yield exactly the same total GDP.

GDP, atau Gross Domestik Produk, dapat diukur dalam dua cara : (1) sebagai arus produk jadi. GDP diartikan sebagai nilai uang total dari arus barang jadi yang diproduksi suatu negara; (2) sebagai biaya total atau pendapatan dari memproduksi output. GDP diartikan sebagai total dari pendapatan faktor produksi (gaji, bunga, sewa, dan laba) yang merupakan biaya dari memproduksi barang-barang jadi masyarakat. Karena laba diartikan sebagai biaya sisa, maka kedua pendekatan tersebut akan menghasilkan nilai total GDP yang sama.


The Problem of Double Counting
(Permasalahan Perhitungan Ganda)



Value-added approach: To avoid double counting, we take care to include in gross domestic product only final goods and not the intermediate goods that go to make the final goods. By measuring the value added at each stage, taking care to substract expenditures on the intermediate goods bought from other firms, the lower-loop earnings properly avoids all double counting and records wages, interest, rent,and profit exactly one time.

Pendekatan nilai tambah: Untuk menghindari perhitungan ganda, kita berhati-hati untuk memasukkan dalam gross domestik produk hanya barang jadi dan bukan barang setengah jadi yang pada akhirnya akan menjadi barang jadi. Dengan mengukur nilai tambah pada masing-masing tahap, berhati-hatilah dalam mengurangi pengeluaran atas barang-barang setengah jadi yang dibeli dari perusahaan-perusahaan lain, pendekatan penghasilan puataran bagian bawah dengan tepat mengurangi semua penghitungan ganda dan mencatat upah, bunga, sewa, dan laba persis hanya satu kali.


From GDP to Disposible Income
(Dari GDP ke Pendapatan Disposible)


To help us understand movements in personal consumption and saving, we often need to measure the total income received by households. For this, we have a monthly series of data on personal income or PI. PI represents all income, whether as earnings on factors or as transfers, actually received by households. How many dollars per year do private individuals and families have available to spend? The concept of disposable income tries to answer this question. To get disposable income, we simply substract personal taxes from personal income. Disposible income is what actually gets into public’s hands, to dispose of as it pleases.

Untuk membantu kita mengerti pergerakan dalam konsumsi dan tabungan pribadi, kita perlu untuk mengukur total pendapatan yang diterima oleh rumah tangga. Dalam hal ini, kita memiliki sebuah seri data bulanan dalam personal income atau PI. PI merupakan semua pendapatan, baik sebagai pendapatan faktor atau transfer, yang sesungguhnya diterima oleh rumah tangga. Berapa banyak dollar per tahun yang seharunsnya disediakan tiap orang dan keluarga untuk dibelanjakan? Konsep Disposible Income mencoba menjawab pertanyaan ini. Untuk mendapat nilai DI, kita secara sederhana mengurangi pajak pribadi dari PI. DI adalah apa yang sesungguhnya ada pada tangan publik, untuk digunakan sebagaimana diinginkan.


Consumption and Investment

A. Consumption and Saving.

Macroeconomics is the study of the behaviour of the overall economy. It is natural that we turn to an analysis of the largest components of GDP, consumption and investment. Recall that consumption consist of spending households on final goods and services, including durable goods like furniture, nondurables like food, and service like education. Investment, on the other hand, is composed of produced goods that are used for further production, including equipment like power looms, structures like houses or factories, and inventories like cars on dealer’s lots. Consumption is the largest single component of GDP. What are the major elements of consumption? Among the most important categories are housing, motor vehicles, foods, and medical care.

Makroekonomi adalah studi tentang perilaku ekonomi secara keseluruhan. Hal ini alami sehingga kita beralih kepada suatu analisis terhadap komponen terbesar dari GDP, konsumsi dan investasi. Disebut kembali bahwasannya konsumsi termasuk pengeluaran rumah tangga terhadap barang akhir dan jasa, termasuk barang tahan lama seperti furniture, barang tidak tahan lama seperti makanan, dan jasa seperti pendidikan. Investasi, dalam pengertian lain, adalah kandungan atas barang produksi yang digunakan untuk produksi selanjutnya, termasuk peralatan seperti mesin tenun, gedung seperti rumah dan pabrik, dan peralatan seperti mobil di dealer. Konsumsi adalah komponen terbesar dalam GDP. Apakah unsur terutama dari konsumsi? Beberapa kategori pentingnya ialah seperti perumahan, kendaraan bermotor, makanan, dan perawatan medis.


Budgetary Expenditure Patterns (Pola-pola Pengeluaran Anggaran)


Poor families must spend their incomes largely on the necessities of life, food and shelter. As income increases, expenditure on many food items goes up. People eat more and eat better. They shift away from cheap, bulky carbohydrates to more expensive meats, fruits, and vegetables. There are, however, limits to the extra money people will spend on food when their incomes rise. Consequently, the proportion of total spending devoted to food declines as income increases.

Keluarga miskin harus mengeluarkan pendapatan mereka lebih besar pada kebutuhan hidup, makanan dan perumahan. Karena pendapatan meningkat, pengeluaran akan banyak barang makanan naik. Orang makan lebih banyak dan lebih baik. Mereka bergeser dari yang murah dari, karbohidrat yang besar menjadi daging yang lebih mahal, buah-buahan, dan sayur-sayuran. Akan tetapi, ada batasan terhadap uang ekstra yang akan dibelanjakan orang terhadap makanan ketika pendapatan mereka meningkat. Akibatnya, proporsi dari total pengeluaran diberikan untuk penurunan makanan saat pendapatan naik.


Consumption, Income, Saving, and Its Function.


What is the exact relationship between consumption, income, and saving? Actually, the idea is simple. Saving is that part of income that is not consumed. That is, saving equals income minus consumption. Study of saving behaviour show that rich people save more than poor people, not only absolutely but also as percent of their incomes. The very poor are unable to save at all. Instead, as long as they have any wealth to draw down or can borrow, they tend to dissave. That is, they tend to spend more than they earn, thereby reducing their accumulated saving or going deeper into debt. The relationship between income and consumption or saving is central to a number of economic issues. But at this stage we turn to the aspect of consumption that relates to aggregate output and employment.
The consumption function shows the relationship between the level of consumption expenditures and the level of household disposable income. The fact that saving equals income minus consumption means that we can easily derive a new relationship: the savings function. The marginal propensity to consume is the extra amount that people consume when they receive an extra dollar of income. The marginal propensity to save is defined as the fraction of an extra dollar of income that goes to extra saving.

Apa kaitan antara konsumsi, pendapatan, dan tabungan? Sesungguhnya, idenya adalah sederhana. Tabungan adalah bagian dari pendapatan yang tidak dikonsumsi. Artinya, tabungan sama dengan pendapatan dikurangi konsumsi. Studi terhadap perilaku tabungan menunjukkan bahwa orang kaya menabung lebih banyak dari orang miskin, tidak hanya bersifat mutlak tetapi juga dari persentase pendapatannya. Orang yang sangat miskin tidak mampu menyimpan uangnya semua. Sebagai gantinya, sepanjang mereka dapat meminjam atau membawa kekayaannya, mereka cenderung untuk tidak menabung. Artinya, mereka cenderung untuk membelanjakan lebih banyak daripada yang dapat diperoleh, sehingga menurukan akumulasi tabungan mereka atau berhutang lebih banyak. Hubungan antara pendapatan dan konsumsi atau tabungan sangat penting bagi isu-isu ekonomi. Tapi dalam kajian ini kita beralih kepada aspek konsumsi yang berhubungan kepada output keseluruhan dan pengangguran.
Fungsi konsumsi menunjukkan tentang hubungan antara tingkat pengeluaran konsumsi dan pendapatan rumah tangga. Faktanya adalah tabungan sama dengan pendapatan dikurangi konsumsi yang berarti kita dapat dengan mudah menurunkan sebuah hubungan yang baru, yaitu fungsi tabungan. Marginal Propensity to Consume (MPC) adalah nilai tambah yang dikonsumsi orang ketika mereka menerima tambahan pendapatan. Marginal Propensity to Save (MPS) diartikan sebagai pecahan terhadap tambahan pendapatan yang menjadi tambahan tabungan.



B. The Determinants of Investment.


Investment plays two roles in macroeconomics. First, because it is a large and volatile component of spending, sharp changes in investment can have a major impact on aggregate demand and thence on output and employment. In addition, investment leads to capital accumulation. We define investment as the addition to the community’s stock of tangible capital goods, capital goods being equipment, structures, or inventories. There is three elements essential to understanding investment: revenues, costs, and expectations.
An investment will bring the firm additional revenues only if investing allows the firm sell more. This suggests will be the overall level of output (GDP). A second important determinant of the level of investment is the cost of investing. When we examine cost of investment, however, we find that they are somewhat more complicated than the cost for other commodities like haircuts or movies. In addition, government taxes can affect the cost of investment. The third element in the determinant of investment is the state of expectations and bussines confidence. Thus investment decisions hang by a thread on expectations about future events, even worse, they ultimately hang on future events that are very hard to predict.
Government affect investment through active monetary policies, through tax programs, and through the general tone of microeconomics policies. In making investment decisions, the real interest rate is particularly relevant. The real rate of interest corrects the nominal interest rate of inflation. Thus, real interest rate = nominal interest rate – rate of inflation.

Investasi memainkan dua peran dalam ekonomi makro. Pertama, karena merupakan komponen pembelanjaan yang besar dan mudah berubah, perubahan yang tajam dalam investasi dapat menyebabkan dampak yang besar terhadap permintaan agregat dan memengaruhi output serta pengangguran Selain itu, investasi mengarah pada akumulasi modal. Kita mendefinisikan investasi sebagai tambahan terhadap akumulasi saham atas barang modal, barang modal seperti perlengkapan, bangunan, atau persediaan. Ada tiga unsur penting untuk memahami investasi: penerimaan, biaya, dan harapan (ekspektasi).
Investasi akan memberikan tambahan penerimaan perusahaan hanya jika kegiatan investasi membantu perusahaan menjual barang lebih banyak. Hal tersebut akan menghasilkan tingkat output secara keseluruhan. Faktor penentu kedua dari tingkat investasi adalah biaya investasi. Ketika kita menelaah biaya dari investasi, kita menemukan bahwa hal tersebut merupakan hal yang lebih sulit dibandingkan memperhitungkan biaya komoditas lain seperti pangkas rambut atau bioskop. Selain itu, pajak pemerintah dapat memengaruhi biaya invetasi. Faktor penentu ketiga yang memengaruhi investasi adalah sikap dari ekspektasi dan kepercayaan bisnis. Sehingga keputusan bisnis bergantung pada harapan di masa depan, meskipun buruk, mereka tetap bergantung pada hal tersebut yang sangat sulit diprediksi.
Pemerintah memengaruhi investasi dengan menggunakan kebijakan moneter, selain program pajak, dan juga unsur umum dari kebijakan makro. Dalam membuat keputusan investasi, tingkat suku bunga riil adalah ukurannya. Tingkat riil dari suku bunga mengkoreksi tingkat bunga nominal dari inflasi. Sehingga,
tingkat suku bunga riil = tingkat bunga nominal – tingkat inflasi.